MUARA BUNGO - Dua oknum wartawan yang menjadi korban pemukulan oleh oknum pelangsir minyak di SPBU 23.372.13 yang berada di jalan Lingkar, Dusun (Desa) Sungai Mengkuang, Kecamatan Rimbo Tengah, Kabupaten Bungo dikabarkan telah berdamai.
Kedua korban dikabarkan mencabut laporan yang mereka buat di Mapolres Bungo. Perdamaian dan pencabutan laporan ini diduga karena unsur pemaksaan dan dibawah tekanan. Pihak SPBU dikabarkan diduga menekan keluarga korban dan membujuk agar korban mencabut laporannya di Mapolres Bungo.
Informasi perdamaian ini juga diperkuat dengan adanya foto yang beredar digroup WhatsApp wartawan Bungo, dimana tampak dua korban bertemu dengan utusan dari SPBU diruangan penyidik Polres Bungo.
Dalam foto yang beredar, tampak korban dan orang kepercayaan SPBU nakal itu memegang sebuah kertas yang diduga sebagai surat perdamaian. Didalam foto itu juga ada seorang yang diduga sebagai penyidik Polres Bungo.
Kapolres Bungo AKBP M Lutfi ketika dikonfirmasi membenarkan jika saat ini memang ada upaya perdamaian dari kedua belah pihak.
Kata Kapolres, saat ini pihaknya tengah memproses penghentian penyidikan. Hal itu berdasarkan kesepakatan perdamaian dan pencabutan laporan. ”Dasar perkap Kapolri Restoratif justice," kata Lutfy.
Terpisah, praktisi hukum Provinsi Jambi Abu Djaelani menyebut jika dalam perkara ini, polres Bungo harus berhati-hati dalam mengambil sikap, karena jika salah, maka akan berakibat fatal.
Menurut Abu, kejadian pemukulan tersebut merupakan tindakan kriminal murni. Jika mengikuti undang-undang, kejadian tersebut melanggar pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan.
"Ini merupakan delik biasa, maka apabila para pelaku dan korban telah berdamai dan mencabut laporan maka perdamaian tersebut tidak menghilangkan pidana dan proses hukum harus tetap berjalan," kata Abu Djaelani.
yang bisa dicabut berkasnya atau di SP3 kan itu merupakan delik aduan, dimana jika delik aduan harus ada pihak yg dirugikan atau korban yang melaporkan lansung kepada pihak yang berwajib.
"Kapolres harus hati-hati dalam mengambil keputusan ini," ungkapnya.
Alumni UIN STS Jambi ini menyebut, jika kepolisian mengambil kebijakan dengan menerapkan keadilan restoratif justice berdasarkan perkappolri nomor 6 tahun 2019, maka harus ada syarat materil dan formil. Salah satunya tidak ada lagi pihak menolak dengan dihentikan perkara tersebut atau tidak ada gejolak.
"Sementara kasus ini masih bergejolak. Masih ada masyarakat yang tidak setuju dengan penghentian kasus ini," katanya lagi.
Sementara itu, Ketua Persatuan Wartawan Bungo (PWB), Azroni, S. Sos menyebut jika pihaknya akan terus menggiring kasus ini hingga ke meja persidangan.
"Kami komitmen akan mengawal kasus ini. Kami minta polisi serius menangani kasus ini sesuai dengan janji Kapolres saat kita demo kemarin," kata Azroni.
Pria yang ditunjuk sebagai koordinator aksi damai ini berharap agar Polres Bungo benar-benar menangani kasus ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Jika tidak, maka mereka akan meminta Polda Jambi untuk mengambil alih perkara ini, sebab kasus ini menjadi sorotan awak media se-Provinsi Jambi, bukan hanya di Kabupaten Bungo.
"Ini sudah menyangkut profesi kami. Kami tidak ingin dikemudian hari ada oknum-oknum yang semena-mena terhadap kami," kata Azroni.
"Sesuai dengan aturan, perdamaian tidak menggugurkan tindak pidana. Perdamaian hanya menjadi bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara dipersidangan nantinya. Jadi kami minta polisi tangkap dan adili pelaku pengeroyokan wartawan," tegasnya.
Selain Abu, Praktisi Hukum Kabupaten Bungo, Isnaini, SH, MH ikut berkomentar, ia menilai dalam peristiwa pidana ini ada kesamaan dengan kasus krishatta.
Dimana jelasnya, pada saat itu penasehat hukumnya mengajukan eksepsi/keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Karena JPU tidak mempertimbangkan perdamaian dan pencabutan laporan oleh pelapor, sehingga eksepsi tersebut dalam putusan telah ditolak oleh majelis hakim karena penganiayaan merupakan delik biasa/delik murni. Dimana perdamaian dan pencabutan laporan tidak dapat menghentikan proses hukum.
“Disini sudah sangat jelas bahwa jika penyidik dalam hal ini mengedepankan penyelesaian melalui restoratif justice adalah hal yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum pidana kita.” ungkapnya, (Bs)